Oleh Diana AV Sasa
Banyak orang menganggap tempat ini mesum. Sering jadi bahan olok-olok karena menyediakan'cewek' bispak dan sering buat short time.
Tapi aku tak peduli dengan cara pandang itu, image itu. Seperti biasa, aku memang suka nubruk hal-hal beginian.
Syarat yang kucari terpenuhi ditempat ini: Bersih,Tinggi,Pandangan luas, Sederhana,Kuno,Murah, dan Tuan rumah ramah.
Dulu tempat ini biasa dipakai tentara jaman Belanda untuk istirahat dari rutinitas. Sekarangpun masih milik mereka. Rumahnya bergaya kolonial, masih ada perapian di dalamnya. Teras mungil, ruang tamu sederhana, kamar luas, dan kamar mandi memadai.
Apa lagi yang kucari? tak ada alasan untuk menyisihkannya dari pilihan.
Maka akupun memilih tempat ini untuk menyepi dan mengejar deadline tulisan.
Pagi hari saat fajar merekah, aku sudah duduk diteras dengan kopi, roti,dan laptop. Menikmati hamparan luas pegunungan dikejauhan, menara menjulang, dan kabut yang berarak menjauh.
Saat matahari mulai naik, kupu-kupu menyembul dari balik bunga-bunga kebun. Burung-burung berteriak nyaring di atas cerobong asap.
Aku menemukan suasana yang begitu menyegarkan imajinasi untuk menulis. Masih kah ada alasan?
Malam hari, aku bisa menatap kerlip lampu di kejauhan dari balik jendela ruang tamu sambil menulis. Dingin yang menusuk tak terasa lagi karena pemandangan diluar jendela demikian indah.
Tak terasa ada dipegunungan. Seperti tengah ada di kota kecil pinggir samudera. Dengan menara mercusuar berkedip-kedip.
Saat rembulan menampakkan wajah, aku tak rela untuk segera beranjak tidur. Hanya ingin menulis dan menulis. Masih mau beralasan?
Pak Salam, nama lelaki renta itu. Usianya sudah 79an. Berjalan dia terseret-seret. Setiap pagi ia bawakan aku secangkir kopi. Memberekan kamar, dan melayani setiap kebutuhanku dengan takzim.
Bahkan saat hujan turun dan langit-langit bocor, ia dengan setia mengeringkannya,lagi dan lagi. Aku tak punya keinginan untuk ngomel meski bocor tak hanya di satu tempat. Tak mengganggu sama sekali. Pak Salam menemaniku menghabiskan malam sambil bercerita tentang masa mudanya dan almarhum istrinya. Mau alasan lagi?
Bu Sum dan Pak Sum, si penjaga rumah, setiap hari memasakkan sayur dari kebun depan pondok. Aku selalu menolak daging, Lebih memilih tempe dan tempe. Bukan hanya enak masakannya yang sederhana itu, tapi aku akan selalu rindu untuk kembali.
Ketika aku pamit senja itu, Bu Sum sedih. "Kau sudah seperti anak sendiri,maka jangan sungkan jika ingin kembali",katanya.
Pak Salam masih sempat membuatkanku secangkir teh hangat tanda perpisahan.
Aku meninggalkan mereka setelah seminggu lebih menikmati keindahan dan kehangatan di pondok mesum itu. Mesum menurut mereka, inspiratif menurutku.
Tak ada yang bebas nilai.
Thursday, April 23, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
1 comment:
ini di mana ya mbak?
Post a Comment