Oleh Berliani M Nugrahani
Baiklah, by popular demand, akhirnya tulisan ini dibuat juga. Bagaimana caranya supaya bisa menjadi penerjemah? Beginilah, hehehe. Aku akan menjelaskannya dalam beberapa langkah—sekarang aku belum tahu bakal ada berapa langkah—supaya nggak membingungkan. Ingat, ini cuma pembagian pengalaman dariku, dan jalan semua orang kan berbeda-beda, ya. Jadi, silakan dibaca saja, boleh ditiru, boleh juga tidak. Dan, karena ini menurutku, jadi nggak boleh diprotes, hahahha....
Apa Sih Menerjemahkan Itu?
Apakah menerjemahkan sama dengan mengalihbahasakan? Benar dan tidak. Yang lebih tepatnya, menerjemahkan adalah mengalihkan jiwa. See, setiap buku, setiap artikel, setiap teks punya nyawa. Nyawa itu sifatnya unik, berbeda-beda dalam setiap teks. Nah, nyawa inilah yang berusaha kita pindahkan ke dalam sebuah karya terjemahan, jadi bukan sekadar bahasanya. Maka, jelas kurang tepat kalau kita menerjemahkan sebuah buku dari kalimat per kalimat atau kata per kata. Kita harus melihat sebuah buku secara keseluruhan. Harus memahami apa yang terjadi di dalamnya. Harus mendalami karakter setiap tokohnya dan menempatkan diri dalam posisi mereka. Karena itulah, seharusnya gaya menerjemahkan dalam setiap buku juga berbeda. Ada kata-kata yang wajar ditampilkan dalam buku A, tapi jadi aneh jika muncul dalam buku B, begitu pula sebaliknya.
Dalam pandanganku (dan ternyata pendapat Suze Marie juga sama, secara kami berdua memang terobsesi ingin menjadi artis), menerjemahkan sama dengan berakting. Misalnya, waktu aku menerjemahkan The Kite Runner, suasana hatiku juga harus menjadi kacau balau, mengikuti keabu-abuan si Amir, naratornya. Lain halnya waktu menerjemahkan Middlesex, aku tidak perlu berbuat banyak untuk menghayati peran karena sifat si Cal mirip denganku (hush, bukan hermaphrodite-nya, tetapi sarkasme dan kesukaannya berbicara sompral). Maka, begitulah, kita harus betul-betul memahami esensi buku yang kita terjemahkan sebelum bisa menerjemahkannya dengan baik.
Siapa Sajakah yang Bisa Menjadi Penerjemah?
Aku sering mendengar orang bilang, “Ah, pengin juga deh jadi penerjemah, tapi aku kan bukan lulusan Sastra.” Lhoo, siapa bilang yang bisa menjadi penerjemah hanya lulusan Sastra? Nggak kok, coba lihat si astronom murtad ini (tapi namanya Umay, bukan Brian May), atau Mbak Femmy. Yah, cuma sedikit kok, penerjemah yang kukenal yang lulusan Fakultas Sastra. Kebetulan aku satu di antaranya. Keuntungannya hanyalah aku pernah mengikuti mata kuliah Translation sepanjang enam semester (hanya satu yang dapat A, satu dapat C, lainnya B), meskipun sebenarnya yang lebih berguna lagi dalam urusan menerjemahkan adalah mata kuliah Syntaxes—soalnya dalam mata kuliah ini aku mengetahui tentang cara membedah kalimat berdasarkan strukturnya.
Sebenarnya, yang lebih penting dalam menerjemahkan bukanlah penguasaan penerjemah terhadap bahasa asli teks, tapi penguasaannya terhadap bahasa Indonesia. Yah, percuma saja kalau bahasa Inggrisnya (atau bahasa manapun, deh) jago tapi bahasa Indonesianya kacau. Waktu jadi editor dulu, aku sering mendapatkan lamaran dari orang-orang yang CV-nya tampak mengesankan, misalnya lulusan luar negeri, dan dari surat lamarannya ketahuan banget kalau bahasa Inggrisnya memang oke, tapi begitu disuruh menerjemahkan, eh, kok nggak banget, ya. Jadi, begitulah. Penguasaan bahasa Inggris penting, tapi penguasaan bahasa Indonesia jauh lebih penting. So, bagi yang ingin menjadi penerjemah, ayo dilihat, sudahkah Anda menguasai EYD, memiliki banyak kosa kata, dan memahami gaya bahasa?
Bagaimanakah Prospek Profesi Penerjemah di Indonesia?
Believe it or not, prospeknya sangat cerah. Dalam industri buku saja, penerjemah yang bagus masih sangat dibutuhkan. Selama dua tahun aku menjadi editor, penerjemah yang dapat dipercaya buat flying solo masih bisa dihitung dengan jari (dari satu tangan, pula). Maka, nggak heran kalau penerjemah yang bagus selalu menjadi buruan banyak penerbit. Soal penghasilan? Wah, di atas lumayan, dong. Sebagai gambaran, tarif untuk penerjemah pemula biasanya adalah Rp.10.000,-/halaman terjemahan (spasi ganda, font 12 pt.). Untuk novel, biasanya jumlah halamannya minimal 200. Jadi, yah, hitung saja sendiri berapa pendapatan seorang penerjemah. Buat yang sudah senior, tentunya tarif itu akan terus naik. Apalagi kalau penerjemah itu sudah tidak membutuhkan editor (alias hasil terjemahannya sudah bersih tanpa perlu diedit), tarifnya tentu lebih mahal lagi.
Okay, sekian dulu untuk langkah pertama kita. Semoga tiga hal yang kujelaskan di atas cukup untuk memberikan gambaran tentang profesi penerjemah. Selanjutnya, dalam langkah kedua, kita akan membahas hal-hal yang lebih teknis, termasuk bagaimana membuat sampel terjemahan yang baik dan cara menggalang network yang oke. Kalau ada pertanyaan, silakan lontarkan saja, supaya sekalian bisa dijadikan bahan pembahasan. Baiklah, sampai bertemu lagi di langkah kedua!
* Di link dari blog Mizz Antie, penerjemah yang terobsesi ingin menjadi artis
Saturday, September 15, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
:: Awal :: Kliping :: Esai :: Resensi :: Tips :: Tokoh :: Perpustakaan :: Penerbit :: Suplemen Khusus :: Buku Baru :: Undang-Undang ::
1 comment:
Terima kasih mba informasinya. saya mahasiswa sains, tapi pingin banget bs jadi penerjemah. apalagi buku kuliah saya mayoritas bahasa inggris, jadi sudah terbiasa "terpaksa" menerjemahkan. tapi saya masih bingung bagaimana caranya mengawali karir dibidang penerjemahan?
Post a Comment