Sunday, April 26, 2009

Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang

Oleh Diana AV Sasa

“Buku ini bisa dibaca dalam 10 Menit,” demikian Andrias Harefa membuka tulisan dalam bukunya berjudul Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang. Kalimat ini provokatif sekali mengingat tebal bukunya sampai 100 halaman dan itu musykil menyelesaikannya dalam 10 menit.

Namun, Andrias menyarankan agar membaca saja halaman sebelah kiri di setiap awal 17 subjudul yang merupakan saripati dari bab terkait. Jika tak mengerti, barulah membaca uraian di halaman sebelahnya yang juga tak terlalu panjang.

Saya mencoba tantangan itu. Dan benar saja, dengan membaca sekilas saja—tak sampai 10 menit—saya mendapat gambaran bagaimana menulis bisa menjadi mudah. Kutipan-kutipan yang diambil sangat mendasar, motivatif, dan menjawab pertanyaan klasik kebanyakan penulis pemula. Sajiannya yang nge-pop disertai ilustrasi kartun yang lucu membuat kalimatnya mudah dicerna dan dipahami.

Andrias menulis buku ini sebagai jawaban kegelisahan yang dialaminya ketika membaca beberapa buku mengenai mengarang yang justru banyak menguraikan hal-hal teknis seputar tata penulisan yang membuat dahi berkerut. Salah satunya buku Arswendo Atmowiloto, Mengarang Itu Gampang.

Seperti halnya saya, ternyata Andrias menemukan kesan yang sama setelah membaca buku sang maestro itu, bahwa mengarang itu alih-alih gampang, malah makin sulit.

Menurut Andrias, ada kondisi prasyarat yang harus dipenuhi agar menulis menjadi gampang. Artinya, harus ada kesediaan berproses melalui pembelajaran yang harus dilewati bila ingin mencapai tahap ”gampang” itu.

Karena itu, Andrias memilih dua kata AGAR-BISA sebagai representasi tujuan dari bukunya. Ia hanya ingin menunjukkan jalan bagaimana agar menulis itu menjadi gampang, bukan memaparkan jalan berliku yang mesti dilakukan dalam teknis menulis. Ia berfokus pada motivasi yang membangkitkan minat dan ambisi penuh cinta untuk belajar menulis sampai hal itu menjadi benar-nemar gampang.

Untuk itu, di awal Andrias memberi lembar khusus peringatan dibukunya.

“Anda tak bisa belajar menulis/mengarang dengan membaca buku ini. Sebab buku ini adalah buku tentang menulis/mengarang. Artinya, dengan membaca buku ini Anda baru belajar tentang dan sama sekali belum belajar menulis dan mengarang. Menulis/mengarang adalah praktik, sehingga hanya dengan melakukannya Anda menjadi bisa,” demikian tulisnya.

Dari halaman peringatan ini saja saya sudah bisa menangkap arah dan tujuan ke mana Andrias akan menggiring isi bukunya. Dasar yang diletakkannya demikian jelas. Kunci dari ”bisa” menulis adalah latihan dan latihan. Teori sebanyak dan sebaik apa pun yang diserap hanya akan mandeg jika tak pernah mulai berlatih menulis.

Sebelum mulai berlatih, ada pondasi dasar yang harus dikukuhkan terlebih dahulu. Ini adalah kondisi prasyarat yang utama. Keyakinan bahwa ”aku bisa menulis” harus dibangun kuat. Siapa saja yang pernah sekolah di Sekolah Dasar pasti pernah membuat karangan. Artinya, mengarang adalah keterampilan sekolah dasar yang mampu dilakukan.

Keyakinan itu mesti didorong dengan rasa cinta yang kuat pula terhadap aktivitas menulis. Dengan kecintaan, menulis menjadi segampang menulis puisi cinta romantik saat jatuh cinta. Ini adalah kekuatan luar biasa yang berada di bawah sadar. Cinta membuat seseorang menjadi sensitif, peka terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Dengan demikian hati lebih mudah digerakkan. Ketika gerakan hati ini dipadukan dengan wawasan, lahirlah ide. Ditambah keterampilan sekolah dasar, lahirlah tulisan, apa pun bentuknya. Sederhana sekali menganalogikan cinta dan menulis ini.

Cinta saja tak cukup. Perlu komitmen, kesungguhan hati, tekad bulat, keyakinan, dan percaya diri untuk bisa mengarang agar cinta itu tak kehilangan arah. Minat dan ambisi yang kuat untuk membuktikan sesuatu yang kita yakini sebagai ‘kebenaran’ akan membantu menjadikan mengarang itu mudah.

Andrias benar, apa yang tertanam dalam hati sebagai sebuah keyakinan memang akan melahirkan dorongan ambisi dan kehendak besar untuk membuktikan kebenaran keyakinan itu. Berjalan dengan keyakinan akan melahirkan hasil akhir yang penuh kekuatan, berisi, dan memuaskan batin.

Agar kemampuan menulis berkembang menjadi kebiasaan, menurut Andrias, maka latihan adalah bangunan berikutnya yang mesti ditegakkan. Tulis apa saja yang bisa ditulis. Ide bisa berasal dari apa saja di mana saja. Hanya diperlukan situasi hati yang kondusif dan kebiasaan mengamati dunia sekitar agar ide itu muncul sebagai sebuah kebiasaan.

Yang perlu dilakukan kemudian adalah menumbuhkan sikap rasional dengan melatih pertanyaan atas ide tersebut. Apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana diolah terus hingga ide itu berkembag. Membiasakan diri dengan mengolah pertanyaan akan melatih membangun argumentasi rasional.

Resep Andrias yang berasal dari perenungan pengalaman pribadi dan wawasannya ini memberi petunjuk jelas bagaimana caranya sebuah ide bisa dikembangkan dengan mudah. Kuncinya satu, menjawab 6 pertanyaan pokok itu.

Lantas bagaimana setelah ide itu ada? Andrias menawarkan resep dari pengalaman pribadinya dan juga beberapa penulis lain yang cukup dikenal. Riset adalah tahap meramu ide itu menjadi tulisan yang beraneka rasa dengan bahan yang beragam pula. Riset ini adalah kata lain dari mengumpulkan bahan tambahan. Sumbernya bisa dari buku, majalah, koran, tivi, atau internet.

Kian banyak buku yang dibaca, kian banyak bahan tambahan yang dipunya, maka materi karangan pun akan makin bervariasi. Ibarat orang memasak, punya bahan 3 sayuran dengan 10 sayuran tentu beda. Bahan 10 sayuran sudah pasti akan menghasilkan masakan yang lebih variatif.

Menulis pun begitu. Bahan-bahan tambahan itu yang akan memperkaya padu padan ide dengan wawasan. Tugas penulis adalah meramunya hingga menjadi enak dan lezat disantap. Menambah dan mengurangi di sana sini sampai ketemu rasa yang pas.

Bagaimana mulai meramunya jika kita tak punya pengalaman mengolah sebelumnya? Andrias menularkan ajaran guru menulisnya, Mardjuki, seorang wartawan Yogyakarta yang mengajarkan 3 N: Niteni (mengamati), Nirokke (meniru), dan Nambahi (menambahi). Amati saja beberapa tulisan orang lain, pahami karakternya, tiru gayanya atau pola berpikirnya, buat dengan gaya sendiri dengan menambahi di sana sini.

Menurut saya, inilah seni menulis itu, seperti penjahit yang menelisik dan menyatukan bahan demi bahan. Beda orang beda hasil jahitan. Di sini kompetisi itu terletak. Keterampilan dan latihan terus-menerus akan menghasilkan karya yang berbeda tergantung kualitas latihannya. Seorang atlet yang latihan sekali dengan sepuluh kali tentu hasilnya akan berbeda, bukan?
Dari mana mulai berlatih menjahitnya? Kebanyakan ahli menyarankan menulis dengan sistem yang linear otak kiri. Dari ide, lalu topik, judul, dan gagasan pendukungnya, baru kemudian penutup.

Andrias mencoba menawarkan gagasan berbeda dengan pola otak kanan. Memulai bisa dari mana saja, tengah, atau akhir tak masalah. Dari mana saja ide itu awalnya bermula. Yang penting ditulis saja dulu. Nanti dengan sendirinya akan berkembang pikiran itu untuk melengkapinya. Andrias tentu saja tetap menyarankan beberapa hal berkaitan dengan pemilihan judul dan topik yang pas dengan ramuan yang dibuat.

Jika sudah jadi, maka tinggal mengkritik naskah mentah yang sudah ada. Boleh dikritik sendiri atau orang lain agar lebih komprehensif. Lalu coba kirim ke media untuk dipublikasikan sehingga mutu tulisan teruji. Jika ditolak jangan berputus asa, coba lagi dan lagi. Penolakan mesti dimaknai sebagai pemicu kesadaran bahwa tulisan kita tak sempurna atau belum pas dengan karakter media. Maka akan lahir kesadaran untuk terus belajar dan belajar, berlatih dan berlatih. Maka kesediaan untuk memahami mutu dan pasar suatu media menjadi penting.

Andrias menulis buku ini berangkat dari ketidakpuasan buku yang pernah dibacanya, maka ia mampu melahirkan obat ketidakpuasan itu. Terbukti, buku ini jauh lebih mudah dipahami daripada buku Arswendo. Andrias menulis dengan sistematika yang meskipun melompat-lompat dan berulang, namun cukup singkat, praktis, dan sederhana untuk dipahami. Dibaca ditoilet atau di kendaraan pun buku ini masih bisa dimengerti tanpa meninggalkan beban berarti di hati dan pikiran.

Agar Menulis-Mengarang Bisa Gampang
Penulis : Andrias Harefa
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama (2002)
[+baca-]

Friday, April 24, 2009

Tujuh Pertaruhan Esei

Oleh Zen Rachmat Sugito

Zen RS adalah penulis esei muda yang cekatan. Lihai berdebat di koran-koran dan pelbagai ruang internet serta trampil mengurai gagasan dengan struktur kalimat yang memikat. Kini ia akan berbagi pengalaman dengan Anda.

1. PESAN UTAMA
(a) Cari poin terpenting dari topik yang ditulis.
(b) Berilah poin itu ruang yang cukup. Contoh: PKI [tonjolkan bahwa bukan PKI yang menjadi aktor utama tragedi ’65]; Agus Salim [tonjolkan bahwa dia orang sangat pintar dan punya rasa humor]

2. JUDUL YANG CERKAS

(a) Judul tidak harus rangkuman tulisan dalam satu kalimat.
(b) Judul bisa diambil dari salah satu kalimat/pernyataan/poin dalam tulisan.
(c) Cari kalimat/pernyataan/poin paling menarik dalam tulisan.
(d) Olah kalimat/pernyataan/poin paling menarik itu. Padatkan. Buat jadi ringkas.

3. LEAD YANG MEMIKAT

(a) Lead buruk bikin pembaca malas baca.
(b) Lead memikat bikin pembaca penasaran.
(c) Esai yang baik dimulai dari lead yang bagus.
(d) Carilah apa yang paling menarik dari tulisanmu (Kutipan, kesimpulan, pernyataan, atau pertanyaan) dan taruhlah itu di lead.
(e) Ada beberapa jenis lead: Kutipan langsung, kalimat pertanyaan, kesimpulan tulisan, deskripsi suasana, konteks/latar belakang sebuah masalah, kronologi kejadian.

4. PADAT DAN TIDAK BERTELE-TELE

(a) Perhatikan ruang dan biasanya ruang untuk esei terbatas.
(b) Tulis yang penting-penting saja.
(c) Buang kalimat/kutipan yang tidak penting.
(d) Jangan menulis seperti memindahkan curriculum vitae atau biodata.

5. KUTIPAN YANG MENGGODA

(a) Kutipan itu seperti parfum: bikin hidung mengembang, bisa pula mengempis.
(b) Harus tahu kapan kutipan ditulis sebagai “kutipan/kalimat langsung”, kapan sebagai “kutipan/kalimat tidak langsung”.
(c) Variasikan cara mengutip, baik langsung atau tidak.
Kutipan yang penting harus dijelaskan.

6. BAHAN/SUMBER

(a) Cari bahan/sumber sebanyak mungkin.
(b) Makin banyak makin mudah. Makin sedikit makin payah.
(c) Jika bahan sedikit, pilih beberapa yang paling baik. Olahlah itu. Jelaskan dengan bernas.
(d) Untuk menjelaskan, cari bahan pendamping untuk menjelaskan konteks.

7. LANCAR

(a) Menulis dengan lancar dan runtut itu pertaruhan utama penulisan esai.
(b) Sebagus apa pun kutipan, sumber dan lead, esai tetap buruk jika tidak lancar.
(c) Baca kembali esai, rasakan dengan peka, akan ketahuan di mana letak ketidaklancaran esai.
(d) Ritme tulisan harus dijaga.


Silakan dihubungi Zen RS di sini
[+baca-]

Thursday, April 23, 2009

Dapatkan Tempat Menulis Favoritmu

Oleh Diana AV Sasa

Banyak orang menganggap tempat ini mesum. Sering jadi bahan olok-olok karena menyediakan'cewek' bispak dan sering buat short time.

Tapi aku tak peduli dengan cara pandang itu, image itu. Seperti biasa, aku memang suka nubruk hal-hal beginian.

Syarat yang kucari terpenuhi ditempat ini: Bersih,Tinggi,Pandangan luas, Sederhana,Kuno,Murah, dan Tuan rumah ramah.

Dulu tempat ini biasa dipakai tentara jaman Belanda untuk istirahat dari rutinitas. Sekarangpun masih milik mereka. Rumahnya bergaya kolonial, masih ada perapian di dalamnya. Teras mungil, ruang tamu sederhana, kamar luas, dan kamar mandi memadai.

Apa lagi yang kucari? tak ada alasan untuk menyisihkannya dari pilihan.

Maka akupun memilih tempat ini untuk menyepi dan mengejar deadline tulisan.

Pagi hari saat fajar merekah, aku sudah duduk diteras dengan kopi, roti,dan laptop. Menikmati hamparan luas pegunungan dikejauhan, menara menjulang, dan kabut yang berarak menjauh.

Saat matahari mulai naik, kupu-kupu menyembul dari balik bunga-bunga kebun. Burung-burung berteriak nyaring di atas cerobong asap.

Aku menemukan suasana yang begitu menyegarkan imajinasi untuk menulis. Masih kah ada alasan?

Malam hari, aku bisa menatap kerlip lampu di kejauhan dari balik jendela ruang tamu sambil menulis. Dingin yang menusuk tak terasa lagi karena pemandangan diluar jendela demikian indah.

Tak terasa ada dipegunungan. Seperti tengah ada di kota kecil pinggir samudera. Dengan menara mercusuar berkedip-kedip.

Saat rembulan menampakkan wajah, aku tak rela untuk segera beranjak tidur. Hanya ingin menulis dan menulis. Masih mau beralasan?

Pak Salam, nama lelaki renta itu. Usianya sudah 79an. Berjalan dia terseret-seret. Setiap pagi ia bawakan aku secangkir kopi. Memberekan kamar, dan melayani setiap kebutuhanku dengan takzim.

Bahkan saat hujan turun dan langit-langit bocor, ia dengan setia mengeringkannya,lagi dan lagi. Aku tak punya keinginan untuk ngomel meski bocor tak hanya di satu tempat. Tak mengganggu sama sekali. Pak Salam menemaniku menghabiskan malam sambil bercerita tentang masa mudanya dan almarhum istrinya. Mau alasan lagi?

Bu Sum dan Pak Sum, si penjaga rumah, setiap hari memasakkan sayur dari kebun depan pondok. Aku selalu menolak daging, Lebih memilih tempe dan tempe. Bukan hanya enak masakannya yang sederhana itu, tapi aku akan selalu rindu untuk kembali.

Ketika aku pamit senja itu, Bu Sum sedih. "Kau sudah seperti anak sendiri,maka jangan sungkan jika ingin kembali",katanya.

Pak Salam masih sempat membuatkanku secangkir teh hangat tanda perpisahan.

Aku meninggalkan mereka setelah seminggu lebih menikmati keindahan dan kehangatan di pondok mesum itu. Mesum menurut mereka, inspiratif menurutku.

Tak ada yang bebas nilai.
[+baca-]

Bisakah "Hidup" dengan Menulis? Bisakah Hidup "Tanpa" Menulis?

Oleh Eka Kurniawan

Yang saya maksud bukan pekerjaan yang penulisnya memperoleh upah bulanan dari perusahaan: katakanlah wartawan atau copy editor di perusahaan iklan. Yang saya maksud adalah, bisakah "hidup" hanya menjadi penulis tanpa terikat kepada perusahaan tertentu. Artinya, penulis bisa bekerja dimana saja, untuk siapa saja, dan bahkan, menulis apa yang disukainya saja -- dan ia dibayar per tulisan yang dibuatnya?

Benar, ini sudah sangat sering ditanyakan. Saya akan mencoba menghitung-hitung (untuk ukuran Indonesia), juga sedikit membocorkan resep-resep yang dilakukan beberapa teman saya (yang memang bisa dikatakan sebagai "penulis penuh waktu").

Pertama-tama, saya mengasumsikan menjadi penulis penuh waktu berarti enggan untuk hidup di ruang dan waktu tertentu (bekerja di kantor dari pukul 9 sampai 5 sore). Sering saya mendengar keluhan teman-teman (yang masih ngantor) bahwa mereka, "Tak punya waktu memadai untuk menulis."

Tentu saja problem ini tidak berlaku untuk semua orang. Penulis seperti Kurnia Effendi, nyatanya bisa tetap produktif menulis sementara ia tetap bekerja (yang juga menyibukkan) di satu perusahaan otomotif. Tapi baiklah, kita asumsikan, berkonsentrasi penuh kepada penulisan barangkali jauh lebih baik daripada harus membagi perhatian dengan pekerjaan lain. Paling tidak itu berlaku bagi saya. Terakhir kali saya bekerja (kantoran) lebih dari dua tahun lalu sebagai editor naskah di satu rumah produksi. Ketika saya memutuskan untuk menulis novel baru, saya merasa membutuhkan waktu yang lebih luang: maka saya berhenti bekerja (kantoran).

1. Untuk Apa Menulis?
Pertama-tama, mari bertanya dulu: untuk apa saya menulis? Pertanyaan ini bisa diajukan untuk profesi apa pun. Kakek saya (ia baru saja meninggal belum lama ini), menanam padi untuk dimakannya sendiri (dibagi-bagikan ke keluarga anak-anaknya); sementara petani lain menanam padi untuk dijual. Tentu saja kakek saya tak mungkin berharap memperoleh penghasilan sebagaimana petani komersial (meskipun bisa saja salah satu anaknya mengirimi ia uang lebih banyak daripada seandainya beras yang ia hasilkan dijual ke cukong).

Begitu pula penulis: ada penulis yang memang menulis untuk mencari uang, di sisi lain ada penulis yang sama sekali tak memedulikan uang (saya menghindari kata "idealis", sebab penulis yang menulis untuk mencari uang juga tidak bisa dikatakan "tidak idealis" -- jujur saja, kata ini sangat rancu dan perlu dibedah aspek filosofisnya, hehehe). Berdasarkan maksudnya, tentu saja tulisan ini dimaksudkan untuk penulis yang ingin memperoleh penghasilan dari tulisannya.

2. Menjual Tulisan
Semua orang tahu, secara kasar, semakin banyak orang yang suka dengan karya seseorang, maka semakin besar kemungkinan ia memperoleh penghasilan. Ini hukum pasar yang sederhana saja.

Belajar dari para penjual yang baik, ada dua kemungkinan seorang penulis bisa menjual tulisannya.

Pertama: menulis apa yang sekiranya disukai oleh kebanyakan pembaca. Pergi ke toko buku dan cari buku yang best-seller. Atau baca surat kabar dan majalah, dan cari tahu tulisan seperti apa yang disukai surat kabar atau majalah tersebut. Artinya, penulis menyesuaikan "selera"nya dengan selera pasar (bisa pembeli buku atau redaktur, atau klien lain).

Kedua: Jika risih dengan pilihan pertama (meskipun bagi saya kualitas karya tak ada hubungannya dengan pilihan pertama atau kedua), alternatif lainnya adalah: menulis apa dan dengan cara yang disukai saja, tapi bikin pembaca menyukainya. Artinya, penulis berupaya membuat "selera" pembaca mengikuti "selera" penulis. Pilihan ini membutuhkan strategi pemasaran, tentu saja.

Tentu saja yang paling gampang adalah, jika "kebetulan" selera penulis dan pembaca umum sama. Yang ini anggap saja anugerah Tuhan!

3. Berapa?
Jika seorang penulis sudah memutuskan ia ingin memperoleh penghasilan dari tulisannya, juga sudah memilih apakah ia akan menyesuaikan selera tulisannya dengan selera pembaca atau membuat selera pembaca mengikuti seleranya, ia bisa mulai bertanya: berapa yang bisa ia peroleh dari tulisan? Beberapa teman saya yang masih pemula sering menanyakan hal ini, dan itu wajar sebab ia tak ingin penghasilannya tiba-tiba drop (maklum ia harus menghindari kemarahan istri dan kerewelan anak yang minta uang saku).

Sejauh ini, ada beberapa cara memperoleh uang dari tulisan yang sudah umum, dan penghasilan yang diperoleh juga tergantung dari hal itu:

Pertama, menulis buku. Pada umumnya, penghasilan dari penjualan buku untuk penulis adalah royalti sebesar 10% dari harga buku (bisa kurang bisa lebih, tergantung negosiasi). Bayangkan jika seorang menulis buku cerita yang sangat digemari: bukunya terjual katakanlah 15.000 kopi dengan harga Rp. 30.000,-. Itu artinya ia memperoleh Rp. 30.000 x 15.000 x 10% = Rp. 45.000.000. Jika ia menulis 2 buku setahun, penghasilannya Rp. 90.000.000 setahun (hayo, jangan lupa bayar pajak penghasilan). Penulis mestinya bisa memperkirakan secara kasar, kira-kira berapa banyak bukunya bisa terjual. Dengan cara itu, penulis juga bisa memperkirakan penghasilannya. Tidak bisa memperkirakan? Sebagai gambaran, buku puisi (dengan sedih harus saya katakan), barangkali hanya bisa terjual 1000 kopi (menurut yang saya dengar dari beberapa penerbit) dengan harga rata-rata tak lebih dari Rp. 20.000. Silakan menghitung sendiri.

Kedua, menulis untuk media massa. Secara umum, penghasilannya sangat tergantung dari medianya. Sebagai gambaran, honorarium tulisan di Kompas berkisar antara Rp. 500.000 hingga Rp. 2.000.000. Koran Tempo rata-rata Rp. 850.000. Majalah seperti Playboy membayar cerita pendek saya Rp. 2.000.000. Majalah Esquire dan Java Kini membayar tulisan Rp. 1.000.000. Tapi jangan dilupakan, masih ada surat kabar lokal yang barangkali hanya membayar tulisan Rp. 100.000. Katakanlah, kita membuat rata-rata setiap media membayar Rp. 500.000. Untuk memperoleh penghasilan Rp. 3.000.000 setiap bulan, seorang penulis hanya perlu menulis 6 tulisan per bulan. Ia bisa menulis cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, bahkan catatan perjalanan! Banyak hal bisa ditulis. Sebagai tambahan: bagi yang gemar makan, bisa menulis catatan kuliner. Bagi yang menyukai gossip, menulis tentang gaya hidup. Apa pun bisa ditulis, kan? Bahkan kalau menulis cerita bersambung, honornya bisa sekitar Rp. 200.000 per pemuatan (kalikan saja, jika dimuat selama 365 hari!) atau dibayar rata sebesar Rp. 10.000.000. Hmm ...

Ketiga, menulis untuk televisi. Untuk penulis yang malas bekerja di kantor tapi tak keberatan dengan tekanan kerja dan jadwal deadline, menulis naskah untuk acara televisi bisa menjadi pilihan yang menyenangkan. Seperti sudah saya bilang, saya pernah bekerja sebagai editor naskah di satu rumah produksi, karena itu saya bisa dikatakan tahu penghasilan para penulis naskah televisi (tapi saya tak akan menyebut nama-nama penulisnya, sebab ini menyangkut rahasia dapur mereka). Honorarium dihitung per episode acara: untuk pemula barangkali Rp. 1.000.000 per episode, untuk yang sudah punya nama bisa sampai Rp. 10.000.000 (jangan lupa bayar pajak juga! hehe) per episode. Biasanya ini berlaku untuk sinetron. Hitung sendiri, jika sinetron itu ditayangkan per minggu! Hitung pula berapa jika sinetronnya ditayangkan 4 hari dalam satu minggu seperti sering terjadi sekarang-sekarang ini! Jangan heran kalau penghasilan penulis jauh melebihi penghasilan editornya, hehe.

Menulis untuk televisi tak hanya berarti menulis naskah sinetron. Hampir setiap acara pasti membutuhkan penulis. Saya sendiri pernah menulis naskah untuk acara jalan-jalan memperkenalkan produk. Lumayan, kerjanya jalan-jalan masuk ke toko-toko di mall. Naskahnya cuma satu halaman ketik. Honornya Rp. 1.000.000 per naskah. Lumayan, kan?

4. Beberapa Alternatif Lain
Kebanyakan penulis menggabungkan semua itu untuk menambah penghasilan mereka. Seorang teman penyair (nama tidak usah disebut, ya), yang barangkali tidak bisa mengharapkan royalti daru dua buku puisinya, menulis artikel di surat kabar paling tidak 5 kali dalam sebulan. Ia juga menjadi pembicara berbagai acara diskusi penulisan (honornya dari Rp 500.000 hingga Rp. 2.000.000) yang bisa dilakukannya paling tidak sekali sebulan.

Alternatif lain? Menjadi penulis hantu (ghost writer). Banyak public figur yang ingin menulis untuk menambah-nambah reputasinya. Kebanyakan dari mereka mungkin benar-benar tidak bisa menulis, beberapa di antaranya tak punya waktu untuk menulis. Mereka biasanya menyewa penulis hantu, yakni menyewa penulis untuk menulis atas nama si public figur. Bisa sekadar artikel untuk media massa, bisa pula menulis buku. Honornya tergantung negosiasi.

Dan jangan dilupakan kemungkinan untuk menulis naskah teater (saya belum pernah melakukannya, tapi lagi mau belajar dengan anak-anak Taeter Garasi), menulis lirik lagu, menulis press release (banyak perusahaan tak bisa menulis release dengan baik, juga tak memiliki kontak dengan media), atau menulis company profile. Ada juga kemungkinan memperoleh penghasilan tambahan jika karyamu meraih penghargaan (karya terbaik Khatulistiwa Literary Award mencapai Rp. 100.000.000). Atau cobalah mengirim aplikasi untuk residensi atau felowship (novel pertama saya, Cantik itu Luka, ditulis dengan grant dari Akademi Kebudayaan Yogyakarta).

5. Saya?
Saat ini saya penulis penuh waktu, dalam arti saya tak terikat dengan perusahaan apa pun dan sebagian besar waktu saya didedikasikan untuk menulis. Saya menulis buku, satu buku saya sudah diterjemahkan ke bahasa Jepang (ini bisa menjadi gambaran, selain cetak ulang, penerjemahan juga bisa melipatgandakan penghasilan penulis buku dari royalti -- juga hitung seandainya novel diapdaptasi ke bentuk lain, misalnya film). Saya juga menulis untuk koran maupun majalah. Saya menjadi pembicara berbagai topik penulisan. Kadang saya menulis naskah untuk televisi. Saya juga kadang menjadi penulis hantu (saya menulis untuk orang lain tanpa menyebut nama saya). Oh ya, saya juga menulis blog (yang ini pro bono, hehe)!

Tapi saya harus jujur, tidak semua penghasilan saya berasal dari menulis. Saya juga memiliki proyek desain grafis, meskipun juga tidak terikat. Saya juga tak keberatan bekerja kantoran, tapi jika saya memerlukan waktu lebih luang (biasanya untuk proyek penulisan yang panjang seperti novel), saya berhenti dan mengurangi aktivitas yang lain.

Bagaimanapun, jika kamu punya pekerjaan yang menyenangkan (buatmu), mungkin ada baiknya tidak ditinggalkan. Kadang-kadang hal itu sangat membantu penulisan -- paling tidak memberi perspektif yang lebih luas untuk tulisan. Gabriel Garcia Marquez seorang wartawan -- kita bisa melihat pekerjaannya sebagai wartawan memberi pengaruh yang positif untuk karya-karya kreatifnya. Jorge Luis Borges penjaga perpustakaan -- dan tanpa itu saya kira cerpen-cerpennya tak akan seperti yang kita kenal. Umberto Eco seorang dosen. Ahmad Tohari seorang pemimpin sebuah pesantren. Dewi Lestari (Dee), seorang penyanyi. Dan mereka tetap bisa menulis, bukan? Bagus pula!

Semoga kamu juga!!!

Tapi di atas semuanya, hal yang sebenarnya paling penting ditanyakan, terutama buat saya adalah: Bisakah hidup “tanpa” menulis?

* Tips kreatif ini diunduh dari sini
[+baca-]

Monday, October 8, 2007

Gunakan Buku Panduan untuk Menggaet Cowok

Apa yang kamu lakukan untuk mendapatkan orang yang kamu suka?
a. Pedekate dan tembak langsung
b. Berdoa sambil berharap dia mengerti
c. Baca buku panduan untuk menjerat si dia

Kalau kaum Adam yang ditanya, mayoritas mungkin bakal memilih opsi A. Cewek-cewek? Jawaban b kayaknya lebih baik. Sedangkan bagi Jane, jawaban C adalah jalan keluar terbaik. Yup, meski tergolong cara lama, tokoh utama novel The Girls’ Guide to Hunting and Fishing ini memilih baca buku untuk menggaet Robert, pujaan hatinya.

Strategi itu dapat perhatian dari De Laguna Latanri Putera, Erin Dewa Rani, Agdiansyah Zhabputra, Dellie Threesyadinda, dan El Shinta Febriana. Para peserta bookaholic tersebut ada yang tergoda ikutan. Tapi, ada juga yang ogah mempraktekkan. Wah, kenapa ya?

"Malu dong. Bayangin aja, ada cowok main ke toko buku buat beli panduan menaklukkan gebetan. Kesannya kok nggak jantan gitu!" buka Laguna. "Yoi. Kan, masih bisa usaha sendiri," sambut Agdiansyah.

Oke, oke... pihak cowok emang keukuh menolak penggunaan buku panduan. Tapi, bagaimana dengan kaum Hawa ya? Erin mengatakan, hal itu biasa dilakukan cewek. "Malah, kayaknya buku ini bisa jadi most have book. Tips-nya penting agar kita bisa memancing cowok secara tepat," ujarnya.

Kemudian, sambil malu-malu, Shinta menimpali. Cara-cara tersebut mengingatkan dia pada zaman SMA lalu. Saat itu, dia juga pernah membeli buku serupa seperti yang dimiliki Jane.

Pernyataan itu sontak membuat bookaholic lain penasaran. Mereka berebut mengajukan pertanyaan tentang isi buku. Tentu saja, bagaimana hasilnya pada Shinta. Semuanya pengin tahu, apakah Shinta sukses jadian dengan sang cowok incaran.

"Aku jawab satu-satu. Pertama, isi buku yang sangat bermanfaat. Misalnya, tentang tata cara kencan pertama. Di situ tertulis, kita harus bersikap jinak-jinak merpati. Jangan terlalu terbuka dulu, trus bilang makasih di akhir kencan," kata Shinta.

"Pokoknya nggak jauh-jauh amat dari isi bukunya Jane kok. Semua bertujuan agar kita jadi orang misterius. Biar tampak lebih menarik bagi lawan jenis," lanjut cewek yang bercita-cita jadi arsitek itu.

"Trus, gimana dengan kisah cintamu? Berhasilkah?" cerocos Erin. "Rahasia! Hehehe... Ya iyalah, dia tergila-gila sama aku. Aku gitu lho," ujarnya. Sayang, ending berbeda dialami sang tokoh utama buku, Jane.

Gara-gara baca buku panduan mendapatkan gebetan, dia malah berubah jadi someone fake. Cewek yang nggak alami karena terlalu terpaku pada buku itu. "Ya, berarti, yang salah orangnya, bukan buku itu. Buku tersebut sebenarnya bagus. Cuma, pengaplikasiannya perlu disesuaikan dengan sikon. Ya kan?" ucap Shinta sambil minta pendapat.

"Iya...." jawab bookaholic serempak, sekaligus mengakhiri diskusi di Exelco kali ini.

* Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi Senin 24 September 2007
[+baca-]

Saturday, September 15, 2007

Mau jadi Penerjemah? Yah, Kira-Kira Beginilah Caranya (2)

Oleh Berliani M Nugrahani

Oke, tibalah kita pada langkah kedua. Langkah pertama sudah dimengerti, bukan? Nah, pembahasan berikut ini ditujukan untuk siapa pun yang ingin memulai karier menjadi penerjemah. Ready? Let's go!

Pada dasarnya, untuk mendapatkan proyek penerjemahan, hanya ada dua macam amunisi yang dibutuhkan. Yang pertama adalah surat lamaran dan CV yang meyakinkan, dan yang kedua adalah sampel terjemahan yang paten. Karena dua hal ini saling menunjang, maka kita harus betul-betul mempersiapkannya dengan baik. Bagaimana caranya? Beginilah ….

Surat Lamaran dan CV

Tentang surat lamaran, nggak usah dibahas mendalam, kali ya. Aku yakin para pencari kerja pasti sudah familier dengan surat kasih sayang ini. Surat lamaran boleh ditulis menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris, terserah. Yang penting, perhatikan sebaik mungkin seluruh ejaan dan penampilannya. Harus rapi dan bersih dari kesalahan. Satu yang harus selalu diingat, jangan sekali-kali menulis kata PENTERJEMAH dalam surat lamaran. Please deh, kalau aku jadi editornya, satu kata itu akan langsung membuatku berhenti membaca dan mencoretkan tanda silang ke bundel surat, CV, dan sampel yang malang.

Bagaimana dengan CV-nya? Tentu saja isinya harus disesuaikan dengan profesi ini, dong. Cantumkanlah semua hal yang kira-kira akan membuat seorang editor terkesan. Kebanyakan editor adalah kutu buku berdedikasi. Maka, untuk membuat mereka terkesan pun gampang sekali. Sebisa mungkin, perlihatkanlah bahwa kita juga makhluk yang sejenis dengan mereka (baca: kutu buku). Cantumkan semua prestasi yang berhubungan dengan penulisan, penguasaan bahasa asing, dan penguasaan bahasa Indonesia. (Misalnya: pernah punya pengalaman dalam penerjemahan, pernah punya artikel / esai / cerpen / resensi / whatever yang dimuat di media, pernah jadi juara lomba menulis, punya blog buku, dll.) Intinya, CV kita harus membuat si editor menyadari betapa potensialnya kita. Betapa kita pandai menulis dan gemar membaca. Ingat, yang sedang kita tembus adalah dunia perbukuan. Jadi, prestasi-prestasi yang nggak bisa disambung-sambungkan dengan buku, sehebat apa pun, nggak penting buat disebutkan.

Penampilan CV juga harus mengesankan, dong. CV harus diketik rapi dengan komputer. Hari gini gitu loh, jangan ditulis tangan atau pakai mesin tik. Kenapa? Yah, karena dalam mengerjakan proyek penerjemahan, penguasaan ilmu mengetik dengan komputer adalah hal yang mutlak. Lalu, ingat selalu bahwa industri buku adalah industri kreatif (apalagi kalau yang sedang kita sasar adalah bidang penerjemahan novel atau buku-buku populer). Maka, kita juga harus kreatif. Tunjukkan hal itu dalam CV. Misalnya, pasang foto yang keren (ayo, silakan lirik headshotku), jangan pasfoto tegang kayak di ijazah. Intinya, tuangkanlah sebanyak mungkin aura kekerenan kita dalam CV, karena inilah alat jualan kita. Kalau CV kita payah, si editor tidak akan tertarik untuk membaca sampel terjemahan kita.

Sampel Terjemahan

Beres dengan CV, saatnya kita memikirkan si senjata pamungkas, (ayo, bunyikan drumnya!) yaitu Sampel Terjemahan. Inilah dia, satu hal yang akan menentukan nasib kita dalam dunia penerjemahan. Pada dasarnya, sampel terjemahan adalah alat untuk memamerkan kemampuan kita dalam menerjemahkan. (Bedakan dengan CV, alat untuk memamerkan kekerenan.) Nah, aku runut saja hal-hal yang penting diperhatikan dalam membuat Sampel Terjemahan:

* Harus sesuai dengan bidang penerjemahan yang kita mau. Kalau ingin menerjemahkan novel, sampelnya ya novel. Begitu pula buat yang lain, misalnya buku how-to, buku sains, buku agama, dll.

* Jangan terlalu panjang. Sebaiknya sampel ini memiliki panjang 3-5 halaman, meskipun biasanya si editor hanya akan sempat membaca tiga halaman. Maka, pilih baik-baik teks yang akan dijadikan sampel. Jangan menerjemahkan teks yang tidak menarik. (Baca: novel ecek-ecek, artikel ecek-ecek, esai ecek-ecek, dll.)

* Ketiklah sampel dengan rapi. Ingat lagi, sebagai pekerja buku, kemampuan mengetik dengan baik sangat mutlak diperlukan. Gunakanlah font yang wajar dengan ukuran yang terbaca, lalu ketik dengan spasi ganda.

* Selalu baca ulang terjemahan kita. Saat membaca ulang ini, singkirkanlah teks asli jauh-jauh. Posisikan diri kita sebagai pembaca. Jangan ragu-ragu untuk mengedit setiap kalimat yang tidak masuk akal, baik dari segi susunan maupun makna. Kuncinya, jangan sampai terjemahan kita menyimpang dari teks asli, tapi juga jangan terlalu terpaku padanya. (Ingat pembahasan tentang nyawa teks dalam Step One.)

* Selalu cek ulang tulisan kita. Jangan sampai ada kesalahan ejaan, kesalahan ketikan, dan kesalahan-kesalahan lainnya.

* Nah, kalau semua urusan sampel ini sudah beres, maka siaplah kita.

Dikirim Ke Mana?

Ya ke penerbit dong, ke mana lagi? Alamat penerbit biasanya bisa didapatkan di buku yang mereka terbitkan. Nah, lamaran bisa kita kirim via pos maupun e-mail. Jangan lupa untuk menyertakan teks asli yang digunakan sebagai sampel. Kalau lamaran dikirim via e-mail, sebaiknya teks aslinya di-scan saja.

Oh, Iya ….
Dalam postingan sebelumnya, di bagian reply sempat disinggung-singgung mengenai iklan jasa penerjemahan (ingat, jangan bilang PENTERJEMAHAN) di milis. Bagaimana, apakah beriklan di milis merupakan tindakan yang tepat untuk dilakukan? Hmm, yah, kalau aku menjadi editor, aku malah nggak akan tertarik tuh, dengan iklan seperti itu. Jadi, mendingan melamar saja deh ….

Baiklah, sekian dulu kuliah kita kali ini. Selanjutnya, dalam langkah ketiga, kita akan membahas tentang hal-hal yang lebih menentukan masa depan (dengan asumsi lamaran kita diterima, gitu). Okay, sampai bertemu lagi!!

* Dilink dari blog Mizz Antie, penerjemah yang sok sibuk.

[+baca-]

Mau Jadi Penerjemah? Yah, Kira-Kira Beginilah Caranya (1)

Oleh Berliani M Nugrahani

Baiklah, by popular demand, akhirnya tulisan ini dibuat juga. Bagaimana caranya supaya bisa menjadi penerjemah? Beginilah, hehehe. Aku akan menjelaskannya dalam beberapa langkah—sekarang aku belum tahu bakal ada berapa langkah—supaya nggak membingungkan. Ingat, ini cuma pembagian pengalaman dariku, dan jalan semua orang kan berbeda-beda, ya. Jadi, silakan dibaca saja, boleh ditiru, boleh juga tidak. Dan, karena ini menurutku, jadi nggak boleh diprotes, hahahha....

Apa Sih Menerjemahkan Itu?

Apakah menerjemahkan sama dengan mengalihbahasakan? Benar dan tidak. Yang lebih tepatnya, menerjemahkan adalah mengalihkan jiwa. See, setiap buku, setiap artikel, setiap teks punya nyawa. Nyawa itu sifatnya unik, berbeda-beda dalam setiap teks. Nah, nyawa inilah yang berusaha kita pindahkan ke dalam sebuah karya terjemahan, jadi bukan sekadar bahasanya. Maka, jelas kurang tepat kalau kita menerjemahkan sebuah buku dari kalimat per kalimat atau kata per kata. Kita harus melihat sebuah buku secara keseluruhan. Harus memahami apa yang terjadi di dalamnya. Harus mendalami karakter setiap tokohnya dan menempatkan diri dalam posisi mereka. Karena itulah, seharusnya gaya menerjemahkan dalam setiap buku juga berbeda. Ada kata-kata yang wajar ditampilkan dalam buku A, tapi jadi aneh jika muncul dalam buku B, begitu pula sebaliknya.

Dalam pandanganku (dan ternyata pendapat Suze Marie juga sama, secara kami berdua memang terobsesi ingin menjadi artis), menerjemahkan sama dengan berakting. Misalnya, waktu aku menerjemahkan The Kite Runner, suasana hatiku juga harus menjadi kacau balau, mengikuti keabu-abuan si Amir, naratornya. Lain halnya waktu menerjemahkan Middlesex, aku tidak perlu berbuat banyak untuk menghayati peran karena sifat si Cal mirip denganku (hush, bukan hermaphrodite-nya, tetapi sarkasme dan kesukaannya berbicara sompral). Maka, begitulah, kita harus betul-betul memahami esensi buku yang kita terjemahkan sebelum bisa menerjemahkannya dengan baik.

Siapa Sajakah yang Bisa Menjadi Penerjemah?

Aku sering mendengar orang bilang, “Ah, pengin juga deh jadi penerjemah, tapi aku kan bukan lulusan Sastra.” Lhoo, siapa bilang yang bisa menjadi penerjemah hanya lulusan Sastra? Nggak kok, coba lihat si astronom murtad ini (tapi namanya Umay, bukan Brian May), atau Mbak Femmy. Yah, cuma sedikit kok, penerjemah yang kukenal yang lulusan Fakultas Sastra. Kebetulan aku satu di antaranya. Keuntungannya hanyalah aku pernah mengikuti mata kuliah Translation sepanjang enam semester (hanya satu yang dapat A, satu dapat C, lainnya B), meskipun sebenarnya yang lebih berguna lagi dalam urusan menerjemahkan adalah mata kuliah Syntaxes—soalnya dalam mata kuliah ini aku mengetahui tentang cara membedah kalimat berdasarkan strukturnya.

Sebenarnya, yang lebih penting dalam menerjemahkan bukanlah penguasaan penerjemah terhadap bahasa asli teks, tapi penguasaannya terhadap bahasa Indonesia. Yah, percuma saja kalau bahasa Inggrisnya (atau bahasa manapun, deh) jago tapi bahasa Indonesianya kacau. Waktu jadi editor dulu, aku sering mendapatkan lamaran dari orang-orang yang CV-nya tampak mengesankan, misalnya lulusan luar negeri, dan dari surat lamarannya ketahuan banget kalau bahasa Inggrisnya memang oke, tapi begitu disuruh menerjemahkan, eh, kok nggak banget, ya. Jadi, begitulah. Penguasaan bahasa Inggris penting, tapi penguasaan bahasa Indonesia jauh lebih penting. So, bagi yang ingin menjadi penerjemah, ayo dilihat, sudahkah Anda menguasai EYD, memiliki banyak kosa kata, dan memahami gaya bahasa?

Bagaimanakah Prospek Profesi Penerjemah di Indonesia?

Believe it or not, prospeknya sangat cerah. Dalam industri buku saja, penerjemah yang bagus masih sangat dibutuhkan. Selama dua tahun aku menjadi editor, penerjemah yang dapat dipercaya buat flying solo masih bisa dihitung dengan jari (dari satu tangan, pula). Maka, nggak heran kalau penerjemah yang bagus selalu menjadi buruan banyak penerbit. Soal penghasilan? Wah, di atas lumayan, dong. Sebagai gambaran, tarif untuk penerjemah pemula biasanya adalah Rp.10.000,-/halaman terjemahan (spasi ganda, font 12 pt.). Untuk novel, biasanya jumlah halamannya minimal 200. Jadi, yah, hitung saja sendiri berapa pendapatan seorang penerjemah. Buat yang sudah senior, tentunya tarif itu akan terus naik. Apalagi kalau penerjemah itu sudah tidak membutuhkan editor (alias hasil terjemahannya sudah bersih tanpa perlu diedit), tarifnya tentu lebih mahal lagi.

Okay, sekian dulu untuk langkah pertama kita. Semoga tiga hal yang kujelaskan di atas cukup untuk memberikan gambaran tentang profesi penerjemah. Selanjutnya, dalam langkah kedua, kita akan membahas hal-hal yang lebih teknis, termasuk bagaimana membuat sampel terjemahan yang baik dan cara menggalang network yang oke. Kalau ada pertanyaan, silakan lontarkan saja, supaya sekalian bisa dijadikan bahan pembahasan. Baiklah, sampai bertemu lagi di langkah kedua!

* Di link dari blog Mizz Antie, penerjemah yang terobsesi ingin menjadi artis
[+baca-]